Jokowi menang karena orang terbukti menyukai hal yang ada padanya, yang kontras terhadap Fauzi Bowo. Pertama, watak dan teknik komunikasinya yang membuat orang merasa nyaman berdialog. Ini disertai hal penting lainnya: kesediaan mendengar. Harapannya, dengan itu ia akan mampu menggalang partisipasi dalam berbagai tingkat.
Ia akan mampu meraih dukungan warga untuk kebijakannya nanti, juga mendapatkan keterlibatan konkret warga dalam memperbaiki Jakarta, serta mendulang gagasan serta inovasi yang sangat diperlukan untuk membuat terobosan.
Jokowi sejauh ini tampil sebagai “one of us”, bukan orang asing yang terpisah dari warga. Sosiolog Thamrin Amal Tomagola mengatakan, Jokowi memiliki karisma “kejelataan”. Seorang sarjana asing mengatakan, Jokowi memiliki "kampungness."
Tentu saja terdapat keraguan terhadap Jokowi, setidaknya ada dua. Pertama, Jokowi memiliki seorang “investor” (istilah yang saya ambil dari Twitter) bernama Prabowo Subianto. Hubungan Prabowo-Jokowi dapat menjadi positif atau negatif — tergantung pada Jokowi sendiri, PDIP, dan rakyat.
Demikian juga seberapa besar keuntungan investasi Prabowo. Sangat tergantung pada investor lainnya, yakni pendukung lain, PDIP, dan Jusuf Kalla.
Tetapi bukankah lebih besar saham rakyat yang ada pada diri Jokowi?
Keraguan lain menyangkut kemampuan Joko Widodo menangani Jakarta, yang dianggap berkali-kali lipat lebih besar dan kompleks dari Solo. Apakah pengalaman di Solo cukup untuk menangani masalah Jakarta?
Masalah Jakarta memang jauh lebih rumit dan berskala raksasa. Tetapi, tiga hal padanya pun jauh lebih besar dan berkualitas. Tiga hal ini adalah: uang (APBD), wewenang, dan orang (mesin birokrasi). Jadi, tantangan Jokowi seimbang besarnya dengan sumber daya yang tersedia. Pengelolaannya sangat tergantung bukan hanya pada pengalaman manajerial, tetapi juga integritas dan kepemimpinan.
Pada kampanye dan janji Joko Widodo terlihat beberapa hal yang secara teknis belum matang atau tidak akurat. Misalnya soal transportasi dengan rel dan "penggeseran" penduduk tepi Sungai Ciliwung. Tetapi pendekatannya jelas dan inovatif: pro rakyat dan mencari solusi out of the box. Akankah berhasil? Masih perlu dilihat dalam beberapa bulan atau setahun ke depan.
Yang jelas, kemenangan Jokowi menegaskan bahwa warga Jakarta telah terlalu lama menderita dan sudah sangat menginginkan perubahan. Gubernur lama tidak juga berhasil sesudah sekian lama, mengapa tidak mencoba yang baru? Dengan yang baru setidaknya ada ruang dan kemungkinan baru.
Keberhasilan Joko Widodo juga akan tergantung pada kemampuan negosiasinya dengan DPRD, pemerintah pusat, kalangan bisnis, dan lembaga-lembaga internasional.
Bagi saya, akhirnya yang paling penting itu adalah aktivisme warga. Joko Widodo terpilih karena selama 10 tahun terakhir warga Jakarta menjadi sangat aktif, setidaknya artikulatif dan berpengetahuan, sehingga siap memilih yang tidak biasa. Aktivisme ini perlu dilanjutkan terus dalam bekerja sama secara kritis dengan gubernur baru.
Dalam era sekarang, hampir tidak mungkin seorang pemimpin dapat berhasil tanpa warga yang aktif, apalagi pada sebuah metropolis seperti Jakarta.